Sabtu, 20 Desember 2025

Penduduk India: Tentara Masa Lalu dan Cikal Bakal Komunitas Baru


Sejarah mencatat bahwa penduduk India, terutama dari wilayah utara dan barat laut, sering dijadikan tentara oleh kekuatan asing dan kerajaan lokal di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya terkait dengan kekuatan kolonial modern, tetapi sudah berlangsung sejak abad pertengahan.

Abbasiyah dan Umayyah, dua kekhalifahan besar Islam, merekrut kelompok seperti Al-Zutt dan Sayabiga sebagai pasukan militer. Al-Zutt berasal dari wilayah Sindh dan sekitarnya, sementara Sayabiga dikenal sebagai tentara elit dari India barat atau Malabar. Pasukan ini berfungsi sebagai penjaga istana dan tentara profesional di medan perang asing.

Alasan utama para khalifah memilih kelompok ini adalah tradisi tempur yang kuat, pengalaman menghadapi berbagai medan perang, serta loyalitas tinggi karena mereka berasal dari wilayah jauh dan kurang terlibat dalam politik lokal.

Tidak hanya di Timur Tengah, fenomena serupa juga terjadi di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh, misalnya, merekrut orang Mappila dari Kerala, India Selatan, untuk menghadapi serangan Portugis. Para Mappila terkenal sebagai pelaut ulung dan tentara tangguh yang mudah beradaptasi dengan kondisi lokal.

Di Kerajaan Arakan, wilayah yang kini termasuk Myanmar, orang India juga direkrut sebagai pasukan. Migrasi militer ini menjadi cikal bakal komunitas Rohingya, yang sebagian besar berakar dari perpindahan penduduk India-Muslim untuk tujuan militer dan perdagangan.

Keberadaan pasukan India di Nusantara menunjukkan pola pemanfaatan tenaga militer luar untuk memperkuat kekuasaan lokal. Mereka menjadi inti pasukan elit, menjaga istana, dan membantu perang laut melawan Portugis atau Belanda.

Salah satu alasan strategis penggunaan pasukan India adalah keterasingan mereka dari konflik internal. Pasukan asing dianggap lebih loyal karena tidak terlibat dalam politik lokal kerajaan atau kerajaan tetangga.

Kemampuan adaptasi juga menjadi faktor penting. Tentara India dapat belajar bahasa setempat, memahami taktik lokal, dan bertugas di medan perang asing. Mereka sering ditempatkan sebagai pasukan inti atau pengawal elit yang menjadi penentu kemenangan.

Keahlian khusus juga menjadi daya tarik. Banyak komunitas India unggul dalam kavaleri, infanteri, maupun perang laut. Misalnya, pasukan Mappila di Aceh tidak hanya bertempur di darat tetapi juga menguasai seni perang laut melawan armada Portugis.

Fenomena ini berlanjut ke era kolonial. Inggris memanfaatkan tentara India, atau sepoy, dari Punjab, Bengal, dan wilayah barat laut untuk Perang Dunia I dan II. Mereka dikirim ke Mesopotamia, Mesir, dan front Barat Eropa.

Lebih dari 1,3 juta tentara India berpartisipasi dalam Perang Dunia I, namun lebih dari 75.000 gugur di medan perang. Banyak pengorbanan mereka tidak diakui dalam literatur sejarah Barat dan museum perang Eropa.

Selain tentara, Inggris juga memanfaatkan pajak, kekayaan, dan sumber daya manusia India untuk menopang perang di Eropa. Janji kemerdekaan yang diberikan pada awal perang tidak pernah ditepati, sehingga rakyat India tetap dikontrol secara ekonomi dan politik.

Fenomena serupa terlihat pada Jepang saat menduduki Nusantara. Mereka merekrut penduduk lokal dan India untuk menjaga kontrol wilayah, menghadapi pasukan Belanda, dan memanfaatkan sumber daya manusia serta alam.

Di sisi lain, pola migrasi militer ini menciptakan komunitas baru. Rohingya di Arakan dan Mappila di Aceh merupakan hasil perpaduan antara mobilisasi militer dan perdagangan yang melibatkan pasukan India.

Kehadiran pasukan India di berbagai kerajaan Nusantara menunjukkan bahwa tenaga militer profesional dari luar menjadi instrumen penting dalam memperkuat kerajaan lokal, melawan invasi asing, atau menjaga stabilitas internal.

Selain kemampuan tempur, tentara India juga memiliki nilai strategis karena pengalaman menghadapi medan perang yang berbeda, termasuk medan gurun, pegunungan, dan laut. Hal ini membuat mereka diminati di berbagai kerajaan dan kekaisaran.

Strategi ini juga menunjukkan pola klasik kolonialisme: gunakan pasukan yang tangguh, relatif terisolasi dari politik lokal, dan loyal terhadap penguasa, untuk menjaga kontrol wilayah dan memperluas kekuasaan.

Bahkan setelah perang atau krisis berlalu, komunitas yang direkrut tetap bertahan di wilayah baru, menjadi bagian dari demografi lokal. Contoh Rohingya dan Mappila menunjukkan dampak jangka panjang dari migrasi militer India.

Fenomena ini mencerminkan bahwa mobilisasi militer bukan hanya soal perang, tetapi juga politik, kontrol sosial, dan penyebaran budaya. Pasukan India sering menjadi jembatan antara kekuasaan asing dan masyarakat lokal.

Sejarah penggunaan tentara India dari era Abbasiyah hingga kolonial Inggris menunjukkan kontinuitas strategi militer global: tenaga profesional dari luar digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, mengendalikan wilayah, dan membentuk komunitas baru di wilayah asing.

Dari Timur Tengah hingga Nusantara, dari front Eropa hingga laut Malabar, penduduk India telah memainkan peran penting sebagai tentara profesional, simbol loyalitas, dan cikal bakal komunitas baru yang kini menjadi bagian dari sejarah regional dan identitas lokal.

Tidak ada komentar:
Write komentar

Daerah

Berita

Media Islam

Ibukota