Senin, 14 April 2025

Sidi Mara, Sang Panglima Laut Pariaman Gagah Berani

Nama Sidi Mara, seorang panglima laut yang disegani dari Minangkabau, berkumandang lantang dalam catatan sejarah perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajahan Belanda di abad ke-19. Sosoknya muncul sebagai salah satu pemimpin gerilya laut yang gigih, berjuang mempertahankan kedaulatan tanah air di tengah pusaran konflik yang melanda Sumatera Barat.

Kesultanan Pagaruyung sendiri sedang mengalami transformasi politik awal abad ke-19.

Perubahan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan kolonial Belanda yang mulai menginjakkan kaki di ranah Minang. Kendati perlawanan sengit dari penduduk setempat tak terhindarkan, gelombang penjajahan akhirnya berhasil memukul mundur pejuang-pejuang Minangkabau pada tahun 1837.

Namun, semangat perlawanan rakyat Minangkabau tidak padam begitu saja. Mereka terus melakukan berbagai upaya untuk mengganggu hegemoni Belanda, termasuk melancarkan serangan-serangan gerilya yang berhasil menghancurkan gudang logistik dan berbagai fasilitas militer milik penjajah. Di tengah berkobarnya semangat juang tersebut, nama Sidi Mara muncul sebagai salah satu panglima laut yang paling ditakuti dan dihormati.

Catatan-catatan militer Belanda pada abad ke-19 kerap kali menyebut nama Sidi Mara, mengindikasikan betapa signifikannya peran dan pengaruhnya dalam dinamika perlawanan di pesisir barat Sumatera. Filolog terkemuka, Suryadi, mengungkapkan bahwa nama Sidi Mara seringkali muncul dalam tulisan-tulisan para petinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Minangkabau, menjadi bukti nyata akan eksistensi dan kiprahnya.

Selain Sidi Mara, terdapat pula nama-nama panglima laut lain yang masyhur di pantai barat Sumatera, seperti Panglima Mentawe, Nja’ Pakir, dan Po Id.

Keberadaan tokoh-tokoh ini menunjukkan betapa pentingnya kekuatan maritim dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan dan juga dalam dinamika kekuasaan di wilayah tersebut.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Sidi Mara dikenal sebagai seorang pedagang dan pengusaha perantara yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Ketika gelombang penjajahan Belanda semakin menguat, terutama pada era yang dikenal sebagai Perang Paderi, Sidi Mara memainkan peran penting sebagai penghubung dagang antara pengusaha Aceh dan Minangkabau.

Berbagai komoditas dan produk diperdagangkan melalui jaringan Sidi Mara, termasuk peralatan senjata yang sangat dibutuhkan dalam perlawanan, pakaian, garam, ikan, dan berbagai kebutuhan lainnya. Suryadi mencatat bahwa Sidi Mara memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, Pasaman, yang menjadi pusat aktivitas perdagangannya.

Namun, gelombang pasang pasukan Belanda yang terus merangsek ke jantung pertahanan rakyat Minangkabau di Bonjol mulai mendesak posisi pejuang-pejuang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoarnya yang berjudul “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834”, mencatat bagaimana penjajah Belanda secara sistematis menyerbu pusat pertahanan Minang.

Tragisnya, gudang-gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol, tak luput dari amukan serdadu Belanda yang membakarnya tanpa ampun. Salah satu gudang yang ikut dilalap si jago merah adalah milik Panglima Sidi Mara. Peristiwa inilah yang kemudian menyulut amarah besar dalam diri Sidi Mara terhadap pihak Belanda.

Sejak saat itu, Sidi Mara bersama dengan 20 orang anak buahnya yang setia, melancarkan serangan balasan yang sengit terhadap posisi-posisi Belanda. Mereka bergerak cepat dan tak terduga, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang kondisi geografis dan kekuatan laut untuk mengacaukan dan meresahkan pihak penjajah.

Selain menghadapi ancaman dari penjajah Belanda, Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar juga harus berhadapan dengan para bajak laut dari Prancis yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama Le Meme. Aktivitas bajak laut di sepanjang pantai barat Sumatera pada abad ke-19 didorong oleh motif ekonomi, dengan melakukan perompakan terhadap kapal-kapal niaga, perkampungan penduduk, dan bahkan motif politik.

Gusti Asnan menjelaskan bahwa korban utama dari aksi bajak laut ini justru adalah para pedagang Tionghoa (pecelang), bukan pedagang Eropa. Hal ini disebabkan karena para pecelang Eropa umumnya telah memiliki persenjataan yang memadai, sehingga membuat para bajak laut berpikir dua kali sebelum menyerang. Selain itu, perompakan juga menyasar perkampungan, bahkan menculik penduduk untuk dijadikan komoditas budak.

Dalam situasi yang penuh gejolak tersebut, warga yang tak berdaya menjadi korban di antara dua kekuatan yang bertikai. Sebagian warga terpaksa memihak penjajah Belanda demi keamanan, sementara sebagian besar lainnya teguh mendukung para pejuang kemerdekaan. Namun, kekuatan militer penjajah Belanda yang jauh lebih modern pada akhirnya membuat perlawanan rakyat menjadi tidak berdaya.

Sayangnya, catatan sejarah yang jelas mengenai biodata Sidi Mara sangat minim. Gusti Asnan mengakui bahwa tidak ada informasi detail mengenai tanggal dan tahun lahir, kampung halaman, serta silsilah keturunan sang panglima laut yang legendaris ini.

Kendati demikian, Suryadi, yang akrab disapa Ajo, memberikan petunjuk bahwa Sidi Mara kemungkinan berasal dari Pariaman. Ia menjelaskan bahwa "Sidi" merupakan salah satu gelar adat di Pariaman, yang berasal dari kata "Sayyidi" (sama dengan Tuanku). Gelar ini biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki garis keturunan dengan kaum ulama (sayyid), yaitu para penyebar agama Islam di daerah Pariaman.

Lebih lanjut, Suryadi menjelaskan bahwa "Sidi", sama halnya dengan gelar adat lain seperti Sutan dan Bagindo, merupakan gelar yang disematkan pada laki-laki yang baru saja menikah di Pariaman. Gelar ini diturunkan secara terus-menerus melalui garis ayah (patrilineal). Suryadi menegaskan bahwa Sidi Mara adalah orang Pariaman dan kemungkinan berprofesi sebagai seorang pedagang.
Menurut sumber lain, Sidi Mara diyakini sebagai putra kepala kampung atau nagari Katiagan (yang juga ditulis sebagai Katiagan Mandiangin), sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Informasi ini memberikan petunjuk lain mengenai kemungkinan asal-usul sang panglima laut.

Setelah berhasil menguasai Sumatera Barat, Belanda melanjutkan ekspansinya untuk menaklukkan Sumatera Utara. Tindakan ini termasuk membakar dan membumihanguskan Barus, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Barus bermarga Pohan di wilayah Hulu dan keturunan Tuan Ibrahimsyah di wilayah Hilir.

Dalam sebuah pertempuran yang heroik, pasukan Sidi Mara dan Sisingamangaraja XI berhasil mengalahkan Belanda dan menewaskan komandan mereka, Letnan J.J. Roef, pada tanggal 28 Maret 1840. Makam Letnan Roef kini berada di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menjadi saksi bisu kekalahan telak Belanda.

Meskipun demikian, dengan cara yang licik dan penuh intrik, Belanda akhirnya berhasil menguasai Barus. Jejak pertempuran sengit dan heroisme Sidi Mara dan pasukannya tetap terukir dalam ingatan kolektif masyarakat setempat.

Hingga kini, tidak diketahui secara pasti di mana makam Sidi Mara berada. Namun, sebuah desa bernama Kinali masih eksis di Barus, dan nama Kinali juga diabadikan menjadi nama sebuah kecamatan di Sumatera Barat, yang diyakini sebagai tempat kelahiran sang panglima laut yang gagah berani ini.

Di Barus sendiri, jejak migrasi dan interaksi budaya dari Sumatera Barat masih terasa kental. Banyak ditemukan orang Pariaman dan Minang yang menetap di wilayah tersebut. Bahkan, terdapat sebuah kampung bernama Solok, sebuah nama yang diambil dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Sisingamangaraja XI sendiri merupakan raja yang secara turun temurun memerintah di Bakkara, yang kini berada di wilayah Humbang Hasundutan.

Sisingamangaraja I merupakan putra Tuan Ibrahimsyah Raja Barus Hilir yang berasal dari Tarusan, Kerajaan Indrapura, yang kini juga termasuk wilayah Sumatera Barat.
Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut di bawah kepemimpinan putra Sisingamangaraja XI, yaitu Sisingamangaraja XII. Ia berkoalisi dengan Aceh, khususnya dalam komando 16 kerajaan di Singkil di bawah Kesultanan Aceh yang lebih besar. Enam belas kerajaan ini dikenal dengan nama Si-16 atau Sinambelas, termasuk Kerajaan Batu-batu yang dipimpin oleh Sultan Daulat Sambo.

Sayangnya, Sisingamangaraja XII akhirnya gugur di Parlilitan pada tahun 1907 bersama dengan sejumlah panglimanya. Sebagian makam para panglima setianya, sekitar 37 jenazah, berada di Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan. Mereka dimakamkan oleh warga setempat setelah dibantai oleh Belanda dan pasukan Marsosenya, menjadi pengingat tragis akan kegigihan perlawanan dan kekejaman penjajahan. Kisah Sidi Mara, meskipun minim catatan detail, tetap menjadi bagian penting dari narasi heroisme dan semangat perlawanan rakyat Minangkabau terhadap kolonialisme.

Tidak ada komentar:
Write komentar