Minggu, 28 September 2025

Arab Spring dan Sejarah yang Belum Usai



Ketika istilah Arab Spring pertama kali populer pada 2011, banyak pengamat internasional percaya bahwa gelombang perubahan itu akan mengakhiri era panjang otoritarianisme di Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, satu dekade lebih kemudian, catatan sejarah menunjukkan bahwa revolusi tersebut meninggalkan warisan yang jauh lebih kompleks dari sekadar penggulingan rezim. Artikel satir yang ditulis Karl Sharro pada 2014 mencoba merekam gejolak itu dengan gaya parodi, tetapi di balik humor terselip cerminan pahit tentang nasib negara-negara Arab yang terjebak antara harapan rakyat dan realitas kekuasaan.


Tunisia sering dianggap sebagai titik mula. Runtuhnya Zine El Abidine Ben Ali pada Desember 2010 membuka jalan bagi gerakan rakyat di kawasan lain. Kepergiannya ke pengasingan di Arab Saudi seolah mengulang pola lama bahwa kerajaan Teluk menjadi tempat persinggahan favorit bagi para penguasa yang tumbang. Bagi sebagian kalangan, hal ini menunjukkan bahwa revolusi hanya memindahkan persoalan, bukan menyelesaikannya.


Gelombang protes kemudian mengguncang Mesir. Hosni Mubarak, yang memerintah selama tiga dekade, dipaksa mundur setelah delapan belas hari demonstrasi di Lapangan Tahrir. Namun, transisi yang diharapkan membawa demokrasi segera berubah menjadi perebutan kekuasaan antara militer, kelompok Islamis, dan elit lama. Satire yang menyebut Mubarak memilih penjara daripada pengasingan menggambarkan betapa rumitnya jalan politik Mesir setelah revolusi.


Libya menjadi panggung paling berdarah dalam rangkaian Arab Spring. Muammar Gaddafi, yang memimpin selama empat dekade, memilih melawan hingga akhir hayatnya. Intervensi NATO mempercepat kejatuhannya, tetapi tidak membawa stabilitas. Justru, negara itu terjerumus dalam konflik berkepanjangan dengan berbagai kelompok bersenjata yang saling berebut pengaruh.


Suriah kemudian menjadi episentrum tragedi. Bashar al-Assad, yang awalnya percaya pemerintahannya kebal dari gejolak, menghadapi protes rakyat yang berkembang menjadi perang sipil. Dukungan dari Iran, Rusia, dan kebingungan kebijakan Barat menjadikan konflik Suriah salah satu yang paling rumit di abad ini. Dalam satire Karl Sharro, pilihan Assad hanya antara pengasingan di Saudi atau Qatar, tetapi kenyataan menunjukkan ia memilih bertahan dengan kekuatan militer. Meski akhirnya kini lengser dan mencari suaka ke Rusia. Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa yang baru masih berusaha mempersatukan negaranya dari separatis Druze milisi Al Hajri dan SDF Kurdi.


Selain negara-negara tersebut, ada pula Bahrain dan Yaman yang kerap terlupakan dalam narasi populer Arab Spring. Di Bahrain, demonstrasi besar-besaran segera dibungkam dengan intervensi militer dari negara tetangga, sementara di Yaman, peralihan kekuasaan justru memicu perang saudara yang berlangsung hingga hari ini. Fakta ini memperkuat kesan bahwa revolusi tidak memberikan hasil seragam di seluruh kawasan.


Humor dalam tulisan Karl Sharro menggambarkan absurditas situasi. Dari istilah “Ben Ali the Hasty” hingga sindiran tentang “public-private partnership” dalam penyiksaan, satire itu menyampaikan bahwa transisi di dunia Arab sering kali lebih menyerupai sandiwara politik daripada proses demokratis. Namun di balik tawa, tersimpan kenyataan getir tentang korban jiwa dan kehancuran negara.


Khusus Mesir, naiknya Abdul Fattah al-Sisi ke tampuk kekuasaan pada 2014 memperlihatkan betapa cepatnya mimpi demokrasi bisa berbalik arah. Harapan rakyat segera tergantikan dengan model pemerintahan militer yang jauh lebih otoriter dibanding masa Mubarak. Narasi bahwa Sisi akan berkuasa “hingga 2032 atau selamanya” menyindir keras kenyataan bahwa demokrasi kerap berhenti di tengah jalan.


Sementara itu, Tunisia yang awalnya dianggap sebagai kisah sukses Arab Spring, pada akhirnya juga mengalami kemunduran demokrasi. Langkah Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan memperluas kekuasaannya menunjukkan bahwa transisi demokrasi di kawasan ini masih rapuh. Hal itu memperkuat pandangan bahwa Arab Spring bukanlah akhir dari otoritarianisme, melainkan sekadar jeda.


Libya, hingga kini, masih terbagi antara dua pemerintahan yang bersaing. Proses rekonsiliasi berjalan lambat, sementara milisi-milisi bersenjata tetap menjadi aktor dominan. Dalam konteks ini, satire tentang Gaddafi yang “tidak bisa dipecat” seakan menggambarkan kenyataan bahwa bayang-bayang kepemimpinannya masih membekas meski ia telah tiada.


Di Suriah, perang panjang telah menghancurkan infrastruktur, memaksa jutaan orang mengungsi, dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang sulit tertandingi. Meski Assad tetap berkuasa, harga yang dibayar sangat mahal. Pencarian solusi politik masih buntu, dan negeri itu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan internasional.


Bahrain, meskipun skalanya lebih kecil, menunjukkan bagaimana stabilitas regional di Teluk lebih diutamakan daripada aspirasi rakyat. Intervensi militer dari negara tetangga menjadi penanda bahwa solidaritas penguasa lebih kuat dibanding tuntutan reformasi.


Yaman, yang disebut hanya sepintas dalam satire, kini menjadi salah satu negara dengan krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Perang saudara yang melibatkan berbagai aktor lokal dan regional menjadikan masa depan negara itu semakin suram.


Tulisan satir Karl Sharro memang menutup kisah Arab Spring dengan nada bercanda, namun sejarah justru terus menulis bab-bab baru. Peristiwa setelah 2014 menunjukkan bahwa gelombang revolusi tidak benar-benar usai, melainkan berevolusi dalam bentuk lain.


Salah satu pelajaran penting adalah bahwa revolusi tanpa institusi yang kuat cenderung menghasilkan kekacauan. Banyak negara yang gagal membangun fondasi politik baru setelah rezim lama tumbang. Akibatnya, kekosongan kekuasaan segera diisi oleh militer, kelompok bersenjata, atau kekuatan asing.


Arab Spring juga memperlihatkan betapa rapuhnya legitimasi internasional. Dukungan Barat sering bersifat ambigu, seperti kasus Suriah ketika Amerika Serikat disebut “memberi senjata sekaligus tidak memberi senjata.” Politik setengah hati itu menciptakan kebingungan dan memperpanjang konflik.


Sementara itu, negara-negara Teluk memainkan peran ganda. Di satu sisi mereka menjadi tempat pengasingan bagi diktator yang tumbang, di sisi lain mereka turut terlibat dalam membendung protes di kawasan. Hal ini menegaskan bahwa stabilitas dan kepentingan energi lebih diutamakan daripada perubahan politik.


Kini, lebih dari satu dekade setelah Arab Spring dimulai, kawasan Timur Tengah masih diliputi ketidakpastian. Beberapa negara mencoba membangun kembali stabilitas, sementara lainnya masih terjebak dalam perang. Apa yang disebut sebagai “musim semi” itu ternyata lebih menyerupai badai panjang yang belum kunjung reda.


Akhirnya, satire Karl Sharro berfungsi sebagai pengingat bahwa sejarah sering kali ditulis dengan cara yang tidak terduga. Arab Spring bukan hanya tentang jatuhnya para diktator, melainkan juga tentang bagaimana harapan bisa berbalik menjadi kekecewaan. Warisan revolusi itu masih akan menjadi perdebatan panjang bagi generasi mendatang.


Apakah Arab Spring benar-benar usai? Pertanyaan itu tetap terbuka. Yang jelas, sejarahnya belum selesai ditulis.

Baca selanjutnya

Tidak ada komentar:
Write komentar

Daerah

Berita

Media Islam

Ibukota