Pemerintah Suriah terus berupaya menghidupkan kembali sektor pendidikan meskipun sebagian besar fasilitas sekolah rusak akibat perang panjang. Di banyak desa, satu sekolah diusahakan tetap berfungsi meskipun kondisi bangunannya sederhana dan sarana pendukung jauh dari kata memadai.
Di pedesaan Aleppo Utara, misalnya, satu sekolah difungsikan untuk melayani dua jenjang sekaligus. Pada pagi hari kegiatan belajar dikhususkan untuk tingkat dasar, sementara siang harinya giliran tingkat menengah atas menggunakan ruang yang sama.
Model bergantian ini lahir dari keterpaksaan. Bangunan sekolah yang tersisa sangat terbatas, sementara jumlah anak usia sekolah terus meningkat, terutama dari keluarga pengungsi yang kembali ke desanya masing-masing.
Kondisi lapangan menunjukkan banyak kelas dipadati hingga seratus siswa. Anak-anak harus duduk berdesakan, bahkan sebagian di antaranya terpaksa belajar di lantai karena kekurangan bangku dan meja.
Situasi ini terekam dalam sebuah video yang menggambarkan betapa daruratnya pendidikan di wilayah tersebut. Adegan anak-anak duduk rapat tanpa ruang gerak menggambarkan semangat belajar yang besar meski fasilitas sangat minim.
Banyak pengamat menyebut keadaan itu sebagai "bencana pendidikan". Namun, di balik kesan muram, tetap terlihat upaya keras pemerintah dan guru setempat agar pendidikan tidak berhenti sama sekali.
Guru-guru yang sebagian besar juga korban konflik tetap mengajar dengan keterbatasan. Mereka harus mengatur suara lebih keras, menyusun metode improvisasi, hingga memberikan perhatian ekstra agar siswa tetap bisa memahami materi.
Keterbatasan ruang kelas membuat anak-anak kurang fokus. Suasana gaduh dan panas seringkali mengganggu jalannya pelajaran. Meski begitu, para siswa menunjukkan tekad kuat untuk hadir setiap hari karena menyadari pentingnya pendidikan.
Para orang tua murid pun ikut memberikan dukungan. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka mendorong anak-anak untuk tetap bersekolah. Sekolah menjadi simbol harapan baru setelah tahun-tahun penuh penderitaan akibat perang.
Banyak pihak menilai, solusi jangka pendek bisa diambil dengan memanfaatkan sistem pendidikan hibrida. Konsep ini memungkinkan sebagian siswa belajar di kelas dan sebagian lainnya belajar secara daring atau di rumah masing-masing.
Dengan pembagian jadwal, satu kelas besar bisa dipisahkan menjadi dua kelompok. Misalnya, 50 siswa hadir di ruang kelas, sementara 50 lainnya mengikuti pelajaran dari rumah melalui perangkat sederhana.
Jika sistem ini diterapkan, hari belajar tatap muka per siswa dapat dikurangi menjadi dua hingga tiga kali seminggu. Dengan demikian, kepadatan kelas bisa berkurang dan kualitas pembelajaran lebih terjaga.
Namun, tantangan besar muncul pada aspek infrastruktur. Tidak semua keluarga memiliki akses internet yang stabil atau perangkat digital yang memadai. Karena itu, implementasi pendidikan hibrid membutuhkan dukungan tambahan dari organisasi kemanusiaan.
Meski begitu, gagasan pendidikan campuran tetap menjadi alternatif penting untuk mengurangi beban ruang kelas. Dengan langkah bertahap, solusi ini bisa membantu anak-anak mendapatkan pengalaman belajar yang lebih layak.
Pemerintah Suriah diyakini berkomitmen untuk memperluas akses pendidikan meskipun sumber daya terbatas. Sekolah-sekolah darurat terus dioperasikan sembari menunggu rehabilitasi bangunan yang hancur akibat konflik.
Bantuan internasional juga sangat dibutuhkan dalam pemulihan pendidikan. Dukungan berupa peralatan belajar, kursi, meja, hingga perangkat teknologi akan sangat membantu menciptakan ruang belajar yang lebih manusiawi.
Di tengah kondisi sulit ini, keteguhan anak-anak Suriah menjadi pengingat betapa besar makna pendidikan. Mereka datang setiap hari dengan semangat, meski harus duduk di lantai dan belajar dalam kerumunan.
Situasi di Aleppo Utara mencerminkan tantangan pendidikan di banyak wilayah Suriah. Namun, di balik itu semua, tetap ada tekad kolektif untuk tidak menyerah demi generasi masa depan.
Harapan tumbuh bahwa dengan kerja sama antara pemerintah, guru, orang tua, dan lembaga internasional, sekolah-sekolah di Suriah akan kembali hidup. Meski jalan panjang masih menanti, semangat anak-anak yang tetap belajar adalah fondasi paling kuat bagi kebangkitan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Write komentar