Sejarah Asia Tenggara dan Tiongkok tidak hanya dipenuhi kerajaan dan perdagangan, tetapi juga oleh kisah komunitas Muslim yang bertahan dalam arus perubahan budaya. Salah satu contohnya adalah keturunan Muslim Arab-Persia di Jinjiang, Quanzhou, Fujian, Tiongkok. Komunitas ini merupakan saksi sejarah perdagangan maritim yang menghubungkan Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah sejak Dinasti Song.
Keturunan Arab-Persia ini awalnya menetap sebagai pedagang dan tentara pada abad ke-10 hingga abad ke-14. Mereka membentuk klan-klan seperti Ding di Chendai dan Guo di Baiqi, yang menjadi bagian penting dari masyarakat lokal. Meski berasal dari luar, komunitas ini mampu berasimilasi dengan budaya Tionghoa tanpa kehilangan seluruh identitas asal mereka.
Sejak abad ke-16, banyak anggota komunitas mulai meninggalkan praktik ibadah Islam untuk menyesuaikan dengan perkembangan politik saat itu. Shalat, puasa, dan ritual keagamaan lainnya perlahan terkikis seiring generasi baru menyesuaikan diri dengan norma sosial Dinasti Ming. Sebagian besar kini dianggap sebagai bagian dari etnis Hui oleh pemerintah Tiongkok, banyak generasi mudanya kembali pada ajaran Islam.
Namun demikian, jejak Islam tetap terlihat dalam tradisi dan arsitektur mereka. Aula leluhur atau ancestral hall masih menampilkan elemen dekorasi Arab, prasasti kaligrafi, dan simbol-simbol yang mengingatkan pada leluhur Muslim. Tradisi menghormati leluhur pun tetap dijalankan, meski tidak lagi dalam konteks ibadah Islam.
Fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Spanyol, pada komunitas Morisco. Muslim yang dipaksa memeluk Kristen tetap mempertahankan beberapa praktik Islam secara diam-diam. Keduanya menunjukkan bagaimana komunitas minoritas mempertahankan identitas melalui simbol budaya meski kehilangan praktik agama formal.
Di Vietnam, fenomena serupa ditemukan pada komunitas Cham, khususnya yang mengikuti ajaran Islam Bani. Cham Bani adalah keturunan kerajaan Champa yang mayoritasnya beragama Islam, namun banyak yang tetap menggabungkan ritual lokal dan adat tradisional dengan praktik Islam.
Islam Bani Cham memiliki karakteristik unik. Mereka menekankan ritual adat dan penghormatan leluhur, serta menggunakan bahasa Cham dalam ibadah. Praktik shalat dan puasa tetap ada, namun sering diwarnai dengan tradisi lokal yang tidak ditemukan di Arab atau Nusantara.
Sejarah Cham Bani berkaitan dengan perdagangan maritim di Laut China Selatan. Hubungan dengan pedagang Muslim dari Nusantara dan Asia Selatan membawa ajaran Islam ke Champa sejak abad ke-10. Akulturasi budaya ini memperkuat identitas Cham sebagai komunitas Muslim yang unik.
Seperti halnya komunitas Muslim Jinjiang, Cham Bani mengalami tekanan budaya dan politik. Kerajaan Champa runtuh pada abad ke-15, dan banyak Cham berpindah ke wilayah Vietnam tengah dan selatan. Asimilasi dengan mayoritas Viet pun memengaruhi praktik keagamaan mereka.
Namun Cham Bani tetap mempertahankan identitasnya melalui masjid, ritual adat, dan pendidikan Islam. Sekolah agama dan guru lokal menjadi pusat pelestarian ajaran, meski generasi muda sering terpengaruh budaya mayoritas.
Fenomena ini menunjukkan pola umum di Asia Tenggara dan Tiongkok: komunitas Muslim yang minoritas mempertahankan identitas melalui ritual, simbol, dan penghormatan leluhur. Praktik agama bisa berkurang, tetapi warisan budaya tetap bertahan.
Dalam konteks Jinjiang, penghormatan terhadap makam suci Lingshan menunjukkan bagaimana simbol Islam tetap dihormati meski keyakinan formal hilang. Pemindahan makam leluhur menjadi bentuk pengakuan terhadap sejarah keluarga dan identitas Arab-Persia mereka.
Sedangkan di Champa, masjid dan ritual adat menjadi pusat kehidupan sosial. Masyarakat Cham tetap menjaga keseimbangan antara tradisi lokal dan Islam, menciptakan identitas ganda yang unik dan tahan banting terhadap perubahan zaman.
Perbandingan antara Jinjiang dan Cham Bani menunjukkan bahwa Islam dapat bertahan dalam bentuk simbolik, ritual, atau identitas budaya, meski praktik religius formal mengalami erosi. Hal ini memperlihatkan fleksibilitas agama dalam konteks minoritas.
Selain simbol dan ritual, bahasa menjadi alat pelestarian identitas. Klan-klan Jinjiang mempertahankan catatan sejarah dan prasasti Arab, sementara Cham Bani menjaga bahasa Cham dalam doa, nyanyian ritual, dan pendidikan agama.
Kedua komunitas juga menunjukkan bagaimana perdagangan dan migrasi memengaruhi penyebaran agama. Muslim Arab-Persia membawa Islam ke Tiongkok dan Vietnam, menciptakan komunitas minoritas yang unik, beradaptasi dengan kultur lokal, dan meninggalkan jejak sejarah yang bertahan hingga kini.
Fenomena ini membuka wawasan bahwa identitas Muslim bukan hanya soal praktik ibadah, tetapi juga soal simbol, ritual, dan penghormatan terhadap leluhur. Islam bisa hadir dalam bentuk budaya, bahkan ketika agama formal tidak lagi dominan.
Dalam kajian sejarah, kasus Jinjiang dan Cham Bani menjadi bukti nyata bagaimana komunitas minoritas menavigasi tekanan sosial dan politik, sambil tetap mempertahankan akar identitas mereka.
Pelestarian budaya dan identitas ini menjadi penting bagi generasi muda. Pendidikan tentang sejarah leluhur, kunjungan ke kuil atau masjid, dan perayaan tradisi menjadi cara menjaga warisan tetap hidup.
Akhirnya, baik komunitas Muslim di Jinjiang maupun Cham Bani mengajarkan bahwa agama, budaya, dan identitas saling terkait. Kehilangan praktik formal tidak selalu berarti kehilangan identitas, karena simbol, ritual, dan sejarah bisa menjadi jembatan untuk mempertahankan akar yang sama.







Tidak ada komentar:
Write komentar