Advertisement

Sabtu, 20 Desember 2025

Mempertahankan Islam di Vietnam dan Tiongkok

Sejarah Asia Tenggara dan Tiongkok tidak hanya dipenuhi kerajaan dan perdagangan, tetapi juga oleh kisah komunitas Muslim yang bertahan dalam arus perubahan budaya. Salah satu contohnya adalah keturunan Muslim Arab-Persia di Jinjiang, Quanzhou, Fujian, Tiongkok. Komunitas ini merupakan saksi sejarah perdagangan maritim yang menghubungkan Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah sejak Dinasti Song.

Keturunan Arab-Persia ini awalnya menetap sebagai pedagang dan tentara pada abad ke-10 hingga abad ke-14. Mereka membentuk klan-klan seperti Ding di Chendai dan Guo di Baiqi, yang menjadi bagian penting dari masyarakat lokal. Meski berasal dari luar, komunitas ini mampu berasimilasi dengan budaya Tionghoa tanpa kehilangan seluruh identitas asal mereka.

Sejak abad ke-16, banyak anggota komunitas mulai meninggalkan praktik ibadah Islam untuk menyesuaikan dengan perkembangan politik saat itu. Shalat, puasa, dan ritual keagamaan lainnya perlahan terkikis seiring generasi baru menyesuaikan diri dengan norma sosial Dinasti Ming. Sebagian besar kini dianggap sebagai bagian dari etnis Hui oleh pemerintah Tiongkok, banyak generasi mudanya kembali pada ajaran Islam.

Namun demikian, jejak Islam tetap terlihat dalam tradisi dan arsitektur mereka. Aula leluhur atau ancestral hall masih menampilkan elemen dekorasi Arab, prasasti kaligrafi, dan simbol-simbol yang mengingatkan pada leluhur Muslim. Tradisi menghormati leluhur pun tetap dijalankan, meski tidak lagi dalam konteks ibadah Islam.

Fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Spanyol, pada komunitas Morisco. Muslim yang dipaksa memeluk Kristen tetap mempertahankan beberapa praktik Islam secara diam-diam. Keduanya menunjukkan bagaimana komunitas minoritas mempertahankan identitas melalui simbol budaya meski kehilangan praktik agama formal.

Di Vietnam, fenomena serupa ditemukan pada komunitas Cham, khususnya yang mengikuti ajaran Islam Bani. Cham Bani adalah keturunan kerajaan Champa yang mayoritasnya beragama Islam, namun banyak yang tetap menggabungkan ritual lokal dan adat tradisional dengan praktik Islam.

Islam Bani Cham memiliki karakteristik unik. Mereka menekankan ritual adat dan penghormatan leluhur, serta menggunakan bahasa Cham dalam ibadah. Praktik shalat dan puasa tetap ada, namun sering diwarnai dengan tradisi lokal yang tidak ditemukan di Arab atau Nusantara.

Sejarah Cham Bani berkaitan dengan perdagangan maritim di Laut China Selatan. Hubungan dengan pedagang Muslim dari Nusantara dan Asia Selatan membawa ajaran Islam ke Champa sejak abad ke-10. Akulturasi budaya ini memperkuat identitas Cham sebagai komunitas Muslim yang unik.

Seperti halnya komunitas Muslim Jinjiang, Cham Bani mengalami tekanan budaya dan politik. Kerajaan Champa runtuh pada abad ke-15, dan banyak Cham berpindah ke wilayah Vietnam tengah dan selatan. Asimilasi dengan mayoritas Viet pun memengaruhi praktik keagamaan mereka.

Namun Cham Bani tetap mempertahankan identitasnya melalui masjid, ritual adat, dan pendidikan Islam. Sekolah agama dan guru lokal menjadi pusat pelestarian ajaran, meski generasi muda sering terpengaruh budaya mayoritas.

Fenomena ini menunjukkan pola umum di Asia Tenggara dan Tiongkok: komunitas Muslim yang minoritas mempertahankan identitas melalui ritual, simbol, dan penghormatan leluhur. Praktik agama bisa berkurang, tetapi warisan budaya tetap bertahan.

Dalam konteks Jinjiang, penghormatan terhadap makam suci Lingshan menunjukkan bagaimana simbol Islam tetap dihormati meski keyakinan formal hilang. Pemindahan makam leluhur menjadi bentuk pengakuan terhadap sejarah keluarga dan identitas Arab-Persia mereka.

Sedangkan di Champa, masjid dan ritual adat menjadi pusat kehidupan sosial. Masyarakat Cham tetap menjaga keseimbangan antara tradisi lokal dan Islam, menciptakan identitas ganda yang unik dan tahan banting terhadap perubahan zaman.

Perbandingan antara Jinjiang dan Cham Bani menunjukkan bahwa Islam dapat bertahan dalam bentuk simbolik, ritual, atau identitas budaya, meski praktik religius formal mengalami erosi. Hal ini memperlihatkan fleksibilitas agama dalam konteks minoritas.

Selain simbol dan ritual, bahasa menjadi alat pelestarian identitas. Klan-klan Jinjiang mempertahankan catatan sejarah dan prasasti Arab, sementara Cham Bani menjaga bahasa Cham dalam doa, nyanyian ritual, dan pendidikan agama.

Kedua komunitas juga menunjukkan bagaimana perdagangan dan migrasi memengaruhi penyebaran agama. Muslim Arab-Persia membawa Islam ke Tiongkok dan Vietnam, menciptakan komunitas minoritas yang unik, beradaptasi dengan kultur lokal, dan meninggalkan jejak sejarah yang bertahan hingga kini.

Fenomena ini membuka wawasan bahwa identitas Muslim bukan hanya soal praktik ibadah, tetapi juga soal simbol, ritual, dan penghormatan terhadap leluhur. Islam bisa hadir dalam bentuk budaya, bahkan ketika agama formal tidak lagi dominan.

Dalam kajian sejarah, kasus Jinjiang dan Cham Bani menjadi bukti nyata bagaimana komunitas minoritas menavigasi tekanan sosial dan politik, sambil tetap mempertahankan akar identitas mereka.

Pelestarian budaya dan identitas ini menjadi penting bagi generasi muda. Pendidikan tentang sejarah leluhur, kunjungan ke kuil atau masjid, dan perayaan tradisi menjadi cara menjaga warisan tetap hidup.

Akhirnya, baik komunitas Muslim di Jinjiang maupun Cham Bani mengajarkan bahwa agama, budaya, dan identitas saling terkait. Kehilangan praktik formal tidak selalu berarti kehilangan identitas, karena simbol, ritual, dan sejarah bisa menjadi jembatan untuk mempertahankan akar yang sama.

Penduduk India: Tentara Masa Lalu dan Cikal Bakal Komunitas Baru


Sejarah mencatat bahwa penduduk India, terutama dari wilayah utara dan barat laut, sering dijadikan tentara oleh kekuatan asing dan kerajaan lokal di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak hanya terkait dengan kekuatan kolonial modern, tetapi sudah berlangsung sejak abad pertengahan.

Abbasiyah dan Umayyah, dua kekhalifahan besar Islam, merekrut kelompok seperti Al-Zutt dan Sayabiga sebagai pasukan militer. Al-Zutt berasal dari wilayah Sindh dan sekitarnya, sementara Sayabiga dikenal sebagai tentara elit dari India barat atau Malabar. Pasukan ini berfungsi sebagai penjaga istana dan tentara profesional di medan perang asing.

Alasan utama para khalifah memilih kelompok ini adalah tradisi tempur yang kuat, pengalaman menghadapi berbagai medan perang, serta loyalitas tinggi karena mereka berasal dari wilayah jauh dan kurang terlibat dalam politik lokal.

Tidak hanya di Timur Tengah, fenomena serupa juga terjadi di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh, misalnya, merekrut orang Mappila dari Kerala, India Selatan, untuk menghadapi serangan Portugis. Para Mappila terkenal sebagai pelaut ulung dan tentara tangguh yang mudah beradaptasi dengan kondisi lokal.

Di Kerajaan Arakan, wilayah yang kini termasuk Myanmar, orang India juga direkrut sebagai pasukan. Migrasi militer ini menjadi cikal bakal komunitas Rohingya, yang sebagian besar berakar dari perpindahan penduduk India-Muslim untuk tujuan militer dan perdagangan.

Keberadaan pasukan India di Nusantara menunjukkan pola pemanfaatan tenaga militer luar untuk memperkuat kekuasaan lokal. Mereka menjadi inti pasukan elit, menjaga istana, dan membantu perang laut melawan Portugis atau Belanda.

Salah satu alasan strategis penggunaan pasukan India adalah keterasingan mereka dari konflik internal. Pasukan asing dianggap lebih loyal karena tidak terlibat dalam politik lokal kerajaan atau kerajaan tetangga.

Kemampuan adaptasi juga menjadi faktor penting. Tentara India dapat belajar bahasa setempat, memahami taktik lokal, dan bertugas di medan perang asing. Mereka sering ditempatkan sebagai pasukan inti atau pengawal elit yang menjadi penentu kemenangan.

Keahlian khusus juga menjadi daya tarik. Banyak komunitas India unggul dalam kavaleri, infanteri, maupun perang laut. Misalnya, pasukan Mappila di Aceh tidak hanya bertempur di darat tetapi juga menguasai seni perang laut melawan armada Portugis.

Fenomena ini berlanjut ke era kolonial. Inggris memanfaatkan tentara India, atau sepoy, dari Punjab, Bengal, dan wilayah barat laut untuk Perang Dunia I dan II. Mereka dikirim ke Mesopotamia, Mesir, dan front Barat Eropa.

Lebih dari 1,3 juta tentara India berpartisipasi dalam Perang Dunia I, namun lebih dari 75.000 gugur di medan perang. Banyak pengorbanan mereka tidak diakui dalam literatur sejarah Barat dan museum perang Eropa.

Selain tentara, Inggris juga memanfaatkan pajak, kekayaan, dan sumber daya manusia India untuk menopang perang di Eropa. Janji kemerdekaan yang diberikan pada awal perang tidak pernah ditepati, sehingga rakyat India tetap dikontrol secara ekonomi dan politik.

Fenomena serupa terlihat pada Jepang saat menduduki Nusantara. Mereka merekrut penduduk lokal dan India untuk menjaga kontrol wilayah, menghadapi pasukan Belanda, dan memanfaatkan sumber daya manusia serta alam.

Di sisi lain, pola migrasi militer ini menciptakan komunitas baru. Rohingya di Arakan dan Mappila di Aceh merupakan hasil perpaduan antara mobilisasi militer dan perdagangan yang melibatkan pasukan India.

Kehadiran pasukan India di berbagai kerajaan Nusantara menunjukkan bahwa tenaga militer profesional dari luar menjadi instrumen penting dalam memperkuat kerajaan lokal, melawan invasi asing, atau menjaga stabilitas internal.

Selain kemampuan tempur, tentara India juga memiliki nilai strategis karena pengalaman menghadapi medan perang yang berbeda, termasuk medan gurun, pegunungan, dan laut. Hal ini membuat mereka diminati di berbagai kerajaan dan kekaisaran.

Strategi ini juga menunjukkan pola klasik kolonialisme: gunakan pasukan yang tangguh, relatif terisolasi dari politik lokal, dan loyal terhadap penguasa, untuk menjaga kontrol wilayah dan memperluas kekuasaan.

Bahkan setelah perang atau krisis berlalu, komunitas yang direkrut tetap bertahan di wilayah baru, menjadi bagian dari demografi lokal. Contoh Rohingya dan Mappila menunjukkan dampak jangka panjang dari migrasi militer India.

Fenomena ini mencerminkan bahwa mobilisasi militer bukan hanya soal perang, tetapi juga politik, kontrol sosial, dan penyebaran budaya. Pasukan India sering menjadi jembatan antara kekuasaan asing dan masyarakat lokal.

Sejarah penggunaan tentara India dari era Abbasiyah hingga kolonial Inggris menunjukkan kontinuitas strategi militer global: tenaga profesional dari luar digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, mengendalikan wilayah, dan membentuk komunitas baru di wilayah asing.

Dari Timur Tengah hingga Nusantara, dari front Eropa hingga laut Malabar, penduduk India telah memainkan peran penting sebagai tentara profesional, simbol loyalitas, dan cikal bakal komunitas baru yang kini menjadi bagian dari sejarah regional dan identitas lokal.

Minggu, 28 September 2025

Arab Spring dan Sejarah yang Belum Usai



Ketika istilah Arab Spring pertama kali populer pada 2011, banyak pengamat internasional percaya bahwa gelombang perubahan itu akan mengakhiri era panjang otoritarianisme di Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, satu dekade lebih kemudian, catatan sejarah menunjukkan bahwa revolusi tersebut meninggalkan warisan yang jauh lebih kompleks dari sekadar penggulingan rezim. Artikel satir yang ditulis Karl Sharro pada 2014 mencoba merekam gejolak itu dengan gaya parodi, tetapi di balik humor terselip cerminan pahit tentang nasib negara-negara Arab yang terjebak antara harapan rakyat dan realitas kekuasaan.


Tunisia sering dianggap sebagai titik mula. Runtuhnya Zine El Abidine Ben Ali pada Desember 2010 membuka jalan bagi gerakan rakyat di kawasan lain. Kepergiannya ke pengasingan di Arab Saudi seolah mengulang pola lama bahwa kerajaan Teluk menjadi tempat persinggahan favorit bagi para penguasa yang tumbang. Bagi sebagian kalangan, hal ini menunjukkan bahwa revolusi hanya memindahkan persoalan, bukan menyelesaikannya.


Gelombang protes kemudian mengguncang Mesir. Hosni Mubarak, yang memerintah selama tiga dekade, dipaksa mundur setelah delapan belas hari demonstrasi di Lapangan Tahrir. Namun, transisi yang diharapkan membawa demokrasi segera berubah menjadi perebutan kekuasaan antara militer, kelompok Islamis, dan elit lama. Satire yang menyebut Mubarak memilih penjara daripada pengasingan menggambarkan betapa rumitnya jalan politik Mesir setelah revolusi.


Libya menjadi panggung paling berdarah dalam rangkaian Arab Spring. Muammar Gaddafi, yang memimpin selama empat dekade, memilih melawan hingga akhir hayatnya. Intervensi NATO mempercepat kejatuhannya, tetapi tidak membawa stabilitas. Justru, negara itu terjerumus dalam konflik berkepanjangan dengan berbagai kelompok bersenjata yang saling berebut pengaruh.


Suriah kemudian menjadi episentrum tragedi. Bashar al-Assad, yang awalnya percaya pemerintahannya kebal dari gejolak, menghadapi protes rakyat yang berkembang menjadi perang sipil. Dukungan dari Iran, Rusia, dan kebingungan kebijakan Barat menjadikan konflik Suriah salah satu yang paling rumit di abad ini. Dalam satire Karl Sharro, pilihan Assad hanya antara pengasingan di Saudi atau Qatar, tetapi kenyataan menunjukkan ia memilih bertahan dengan kekuatan militer. Meski akhirnya kini lengser dan mencari suaka ke Rusia. Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa yang baru masih berusaha mempersatukan negaranya dari separatis Druze milisi Al Hajri dan SDF Kurdi.


Selain negara-negara tersebut, ada pula Bahrain dan Yaman yang kerap terlupakan dalam narasi populer Arab Spring. Di Bahrain, demonstrasi besar-besaran segera dibungkam dengan intervensi militer dari negara tetangga, sementara di Yaman, peralihan kekuasaan justru memicu perang saudara yang berlangsung hingga hari ini. Fakta ini memperkuat kesan bahwa revolusi tidak memberikan hasil seragam di seluruh kawasan.


Humor dalam tulisan Karl Sharro menggambarkan absurditas situasi. Dari istilah “Ben Ali the Hasty” hingga sindiran tentang “public-private partnership” dalam penyiksaan, satire itu menyampaikan bahwa transisi di dunia Arab sering kali lebih menyerupai sandiwara politik daripada proses demokratis. Namun di balik tawa, tersimpan kenyataan getir tentang korban jiwa dan kehancuran negara.


Khusus Mesir, naiknya Abdul Fattah al-Sisi ke tampuk kekuasaan pada 2014 memperlihatkan betapa cepatnya mimpi demokrasi bisa berbalik arah. Harapan rakyat segera tergantikan dengan model pemerintahan militer yang jauh lebih otoriter dibanding masa Mubarak. Narasi bahwa Sisi akan berkuasa “hingga 2032 atau selamanya” menyindir keras kenyataan bahwa demokrasi kerap berhenti di tengah jalan.


Sementara itu, Tunisia yang awalnya dianggap sebagai kisah sukses Arab Spring, pada akhirnya juga mengalami kemunduran demokrasi. Langkah Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan memperluas kekuasaannya menunjukkan bahwa transisi demokrasi di kawasan ini masih rapuh. Hal itu memperkuat pandangan bahwa Arab Spring bukanlah akhir dari otoritarianisme, melainkan sekadar jeda.


Libya, hingga kini, masih terbagi antara dua pemerintahan yang bersaing. Proses rekonsiliasi berjalan lambat, sementara milisi-milisi bersenjata tetap menjadi aktor dominan. Dalam konteks ini, satire tentang Gaddafi yang “tidak bisa dipecat” seakan menggambarkan kenyataan bahwa bayang-bayang kepemimpinannya masih membekas meski ia telah tiada.


Di Suriah, perang panjang telah menghancurkan infrastruktur, memaksa jutaan orang mengungsi, dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang sulit tertandingi. Meski Assad tetap berkuasa, harga yang dibayar sangat mahal. Pencarian solusi politik masih buntu, dan negeri itu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan internasional.


Bahrain, meskipun skalanya lebih kecil, menunjukkan bagaimana stabilitas regional di Teluk lebih diutamakan daripada aspirasi rakyat. Intervensi militer dari negara tetangga menjadi penanda bahwa solidaritas penguasa lebih kuat dibanding tuntutan reformasi.


Yaman, yang disebut hanya sepintas dalam satire, kini menjadi salah satu negara dengan krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Perang saudara yang melibatkan berbagai aktor lokal dan regional menjadikan masa depan negara itu semakin suram.


Tulisan satir Karl Sharro memang menutup kisah Arab Spring dengan nada bercanda, namun sejarah justru terus menulis bab-bab baru. Peristiwa setelah 2014 menunjukkan bahwa gelombang revolusi tidak benar-benar usai, melainkan berevolusi dalam bentuk lain.


Salah satu pelajaran penting adalah bahwa revolusi tanpa institusi yang kuat cenderung menghasilkan kekacauan. Banyak negara yang gagal membangun fondasi politik baru setelah rezim lama tumbang. Akibatnya, kekosongan kekuasaan segera diisi oleh militer, kelompok bersenjata, atau kekuatan asing.


Arab Spring juga memperlihatkan betapa rapuhnya legitimasi internasional. Dukungan Barat sering bersifat ambigu, seperti kasus Suriah ketika Amerika Serikat disebut “memberi senjata sekaligus tidak memberi senjata.” Politik setengah hati itu menciptakan kebingungan dan memperpanjang konflik.


Sementara itu, negara-negara Teluk memainkan peran ganda. Di satu sisi mereka menjadi tempat pengasingan bagi diktator yang tumbang, di sisi lain mereka turut terlibat dalam membendung protes di kawasan. Hal ini menegaskan bahwa stabilitas dan kepentingan energi lebih diutamakan daripada perubahan politik.


Kini, lebih dari satu dekade setelah Arab Spring dimulai, kawasan Timur Tengah masih diliputi ketidakpastian. Beberapa negara mencoba membangun kembali stabilitas, sementara lainnya masih terjebak dalam perang. Apa yang disebut sebagai “musim semi” itu ternyata lebih menyerupai badai panjang yang belum kunjung reda.


Akhirnya, satire Karl Sharro berfungsi sebagai pengingat bahwa sejarah sering kali ditulis dengan cara yang tidak terduga. Arab Spring bukan hanya tentang jatuhnya para diktator, melainkan juga tentang bagaimana harapan bisa berbalik menjadi kekecewaan. Warisan revolusi itu masih akan menjadi perdebatan panjang bagi generasi mendatang.


Apakah Arab Spring benar-benar usai? Pertanyaan itu tetap terbuka. Yang jelas, sejarahnya belum selesai ditulis.

Baca selanjutnya

Kamis, 25 September 2025

Pendidikan Suriah Bertahan di Tengah Keterbatasan

Pemerintah Suriah terus berupaya menghidupkan kembali sektor pendidikan meskipun sebagian besar fasilitas sekolah rusak akibat perang panjang. Di banyak desa, satu sekolah diusahakan tetap berfungsi meskipun kondisi bangunannya sederhana dan sarana pendukung jauh dari kata memadai.

Di pedesaan Aleppo Utara, misalnya, satu sekolah difungsikan untuk melayani dua jenjang sekaligus. Pada pagi hari kegiatan belajar dikhususkan untuk tingkat dasar, sementara siang harinya giliran tingkat menengah atas menggunakan ruang yang sama.

Model bergantian ini lahir dari keterpaksaan. Bangunan sekolah yang tersisa sangat terbatas, sementara jumlah anak usia sekolah terus meningkat, terutama dari keluarga pengungsi yang kembali ke desanya masing-masing.

Kondisi lapangan menunjukkan banyak kelas dipadati hingga seratus siswa. Anak-anak harus duduk berdesakan, bahkan sebagian di antaranya terpaksa belajar di lantai karena kekurangan bangku dan meja.

Situasi ini terekam dalam sebuah video yang menggambarkan betapa daruratnya pendidikan di wilayah tersebut. Adegan anak-anak duduk rapat tanpa ruang gerak menggambarkan semangat belajar yang besar meski fasilitas sangat minim.

Banyak pengamat menyebut keadaan itu sebagai "bencana pendidikan". Namun, di balik kesan muram, tetap terlihat upaya keras pemerintah dan guru setempat agar pendidikan tidak berhenti sama sekali.

Guru-guru yang sebagian besar juga korban konflik tetap mengajar dengan keterbatasan. Mereka harus mengatur suara lebih keras, menyusun metode improvisasi, hingga memberikan perhatian ekstra agar siswa tetap bisa memahami materi.

Keterbatasan ruang kelas membuat anak-anak kurang fokus. Suasana gaduh dan panas seringkali mengganggu jalannya pelajaran. Meski begitu, para siswa menunjukkan tekad kuat untuk hadir setiap hari karena menyadari pentingnya pendidikan.

Para orang tua murid pun ikut memberikan dukungan. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka mendorong anak-anak untuk tetap bersekolah. Sekolah menjadi simbol harapan baru setelah tahun-tahun penuh penderitaan akibat perang.

Banyak pihak menilai, solusi jangka pendek bisa diambil dengan memanfaatkan sistem pendidikan hibrida. Konsep ini memungkinkan sebagian siswa belajar di kelas dan sebagian lainnya belajar secara daring atau di rumah masing-masing.

Dengan pembagian jadwal, satu kelas besar bisa dipisahkan menjadi dua kelompok. Misalnya, 50 siswa hadir di ruang kelas, sementara 50 lainnya mengikuti pelajaran dari rumah melalui perangkat sederhana.

Jika sistem ini diterapkan, hari belajar tatap muka per siswa dapat dikurangi menjadi dua hingga tiga kali seminggu. Dengan demikian, kepadatan kelas bisa berkurang dan kualitas pembelajaran lebih terjaga.

Namun, tantangan besar muncul pada aspek infrastruktur. Tidak semua keluarga memiliki akses internet yang stabil atau perangkat digital yang memadai. Karena itu, implementasi pendidikan hibrid membutuhkan dukungan tambahan dari organisasi kemanusiaan.

Meski begitu, gagasan pendidikan campuran tetap menjadi alternatif penting untuk mengurangi beban ruang kelas. Dengan langkah bertahap, solusi ini bisa membantu anak-anak mendapatkan pengalaman belajar yang lebih layak.

Pemerintah Suriah diyakini berkomitmen untuk memperluas akses pendidikan meskipun sumber daya terbatas. Sekolah-sekolah darurat terus dioperasikan sembari menunggu rehabilitasi bangunan yang hancur akibat konflik.

Bantuan internasional juga sangat dibutuhkan dalam pemulihan pendidikan. Dukungan berupa peralatan belajar, kursi, meja, hingga perangkat teknologi akan sangat membantu menciptakan ruang belajar yang lebih manusiawi.

Di tengah kondisi sulit ini, keteguhan anak-anak Suriah menjadi pengingat betapa besar makna pendidikan. Mereka datang setiap hari dengan semangat, meski harus duduk di lantai dan belajar dalam kerumunan.

Situasi di Aleppo Utara mencerminkan tantangan pendidikan di banyak wilayah Suriah. Namun, di balik itu semua, tetap ada tekad kolektif untuk tidak menyerah demi generasi masa depan.

Harapan tumbuh bahwa dengan kerja sama antara pemerintah, guru, orang tua, dan lembaga internasional, sekolah-sekolah di Suriah akan kembali hidup. Meski jalan panjang masih menanti, semangat anak-anak yang tetap belajar adalah fondasi paling kuat bagi kebangkitan pendidikan.

Kamis, 26 Juni 2025

Struktur Pemerintahan Baru Arakan Army di Rakhine Diperkirakan Inklusif Termasuk Rohingya

Sejak berhasil merebut sebagian besar wilayah Rakhine bagian tengah dan utara serta Paletwa di Negara Bagian Chin selatan, Arakan Army (AA) bersama sayap politiknya United League of Arakan (ULA) secara efektif membentuk pemerintahan alternatif di luar kendali junta militer Myanmar. Pemerintahan tersebut dikenal dengan nama Arakan People’s Government (APG), sebuah sistem administrasi semi-terpusat yang kini mulai berkembang pesat di wilayah yang mereka kuasai.

Arakan People’s Government tidak berbentuk parlementer maupun presidensial dalam arti konstitusi formal negara modern, melainkan sebuah pemerintahan de facto berbasis militer-sipil dengan komando vertikal. Kekuasaan tertinggi berada di tangan pemimpin AA sekaligus Ketua ULA, Twan Mrat Naing, yang secara praktis berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam struktur tersebut.

Tidak ada jabatan presiden atau perdana menteri sebagaimana negara berdaulat pada umumnya. Pemerintahan berjalan dengan sistem komando terpusat, di mana keputusan politik, militer, dan administrasi sipil ditentukan oleh Presidium ULA yang terdiri dari elite militer AA dan sejumlah komisaris sipil. Mereka memegang kendali langsung atas berbagai komite yang dibentuk di setiap wilayah administratif.

Penduduk di wilayah yang saat ini dikuasai oleh Arakan People’s Government diperkirakan mencapai 1,6 hingga 1,8 juta jiwa. Mereka tersebar di berbagai kota dan desa di Kyauktaw, Ponnagyun, Rathedaung, Minbya, hingga Paletwa. Populasi ini terdiri dari etnis Rakhine Buddhis, Rohingya Muslim, Khumi, Mro, Diangnet, serta komunitas kecil Hindu dan Maramagyi.

Kekuatan militer AA sendiri diperkirakan mencapai lebih dari 30.000 personel aktif, dengan tambahan ribuan sukarelawan paramiliter yang direkrut dari kalangan masyarakat lokal. Pasukan ini dilengkapi dengan persenjataan ringan hingga menengah, termasuk senapan serbu, senapan mesin, mortir, peluncur roket, serta sejumlah rudal anti-tank dan sistem artileri lapangan.

Meski belum memiliki angkatan laut dalam struktur formal, AA diketahui memiliki armada kapal cepat bersenjata sederhana untuk patroli sungai dan pesisir di sepanjang Sungai Kaladan dan wilayah pantai Rakhine. Kapal-kapal ini dilaporkan kerap digunakan untuk mengamankan jalur suplai logistik dari wilayah perbatasan India dan Bangladesh.

Struktur kabinet dalam Arakan People’s Government terdiri dari berbagai komite dan departemen yang membidangi kesehatan, pendidikan, urusan agama, pembangunan ekonomi, dan keamanan dalam negeri. Beberapa tokoh kunci dalam pemerintahan sipil ini di antaranya Kyaw Zaw Khing sebagai kepala departemen politik, serta Haji Sin Min yang memimpin Komite Islam Council untuk komunitas Rohingya.

Sumber pemasukan utama pemerintahan ini berasal dari pungutan pajak perdagangan lintas wilayah, biaya administrasi, serta kontribusi sukarela masyarakat dan diaspora Arakan di luar negeri. Selain itu, AA juga diketahui menerima sokongan finansial dan logistik dari jaringan pendukungnya di India Timur Laut dan kemungkinan kontak tidak langsung dengan kelompok bersenjata di kawasan.

Pendapatan dari pengelolaan hasil pertanian dan perikanan lokal di kawasan pesisir Rakhine serta komoditas hutan seperti kayu dan damar menjadi sektor ekonomi pendukung. Pemerintahan ini juga mulai menerapkan sistem pengurusan izin dagang dan pajak ekspor-impor bagi barang-barang yang melewati pelabuhan kecil di sepanjang sungai.

Struktur administrasi Arakan People’s Government bersifat piramidal. Di tingkat puncak ada Presidium ULA dan Komando Militer Regional. Di bawahnya terdapat komite administrasi distrik, komite desa, dan lembaga komunitas yang bertugas menjalankan urusan harian masyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, serta keamanan lingkungan.

Di sektor hukum, Arakan People’s Government telah membentuk pengadilan rakyat di beberapa kota yang mengadili perkara-perkara perdata dan pidana ringan. Untuk kasus berat atau terkait keamanan, keputusan diambil langsung oleh komando militer regional melalui dewan pengadilan militer sipil gabungan.

Meski pemerintahan ini belum diakui secara internasional, AA secara aktif membangun komunikasi dengan organisasi kemanusiaan dan NGO asing, menawarkan akses terbatas ke wilayah-wilayah pengungsi internal dan program rehabilitasi komunitas. Hal ini menjadi strategi politik untuk mencari legitimasi di mata dunia.

Pemerintahan Arakan People’s Government juga memiliki Humanitarian and Development Coordination Office (HDCO) yang mengatur program bantuan, pengungsi, serta pembangunan infrastruktur dasar. Lembaga ini bekerja sama dengan beberapa komunitas lokal dan relawan internasional yang beroperasi secara diam-diam.

AA bahkan telah membangun sistem kepolisian sipil di kawasan yang telah mereka kuasai. Pasukan ini direkrut dari warga lokal berbagai etnis, termasuk Rohingya, untuk mengelola keamanan lingkungan dan tugas-tugas administrasi, sekaligus meredam potensi perlawanan dari kelompok bersenjata lain seperti ARSA.

Dalam waktu dekat, Arakan People’s Government berencana mengembangkan badan ekonomi yang mengatur usaha dagang dan produksi lokal, terutama di sektor perikanan, pertanian, dan kehutanan. Badan ini diharapkan dapat menjadi fondasi ekonomi jangka panjang bagi pemerintahan alternatif Rakhine.

Meski kekuatan AA cukup signifikan, tantangan mereka masih besar. Ancaman serangan balasan junta militer Myanmar, kehadiran kelompok bersenjata ekstrem seperti ARSA, serta ketegangan antar komunitas menjadi penghalang utama stabilitas pemerintahan de facto ini. Ditambah lagi dengan kendala logistik dan terbatasnya sumber daya keuangan.

Keberhasilan atau kegagalan Arakan People’s Government dalam membangun sistem pemerintahan mandiri akan menjadi tolok ukur penting masa depan politik Rakhine. Jika mampu bertahan, entitas ini berpeluang menjadi model otonomi lokal paling kuat di Myanmar pasca-rezim militer. Sebaliknya, bila runtuh, Rakhine kembali ke lingkaran kekerasan lama.

Senin, 14 April 2025

Sidi Mara, Sang Panglima Laut Pariaman Gagah Berani

Nama Sidi Mara, seorang panglima laut yang disegani dari Minangkabau, berkumandang lantang dalam catatan sejarah perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajahan Belanda di abad ke-19. Sosoknya muncul sebagai salah satu pemimpin gerilya laut yang gigih, berjuang mempertahankan kedaulatan tanah air di tengah pusaran konflik yang melanda Sumatera Barat.

Kesultanan Pagaruyung sendiri sedang mengalami transformasi politik awal abad ke-19.

Perubahan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan kolonial Belanda yang mulai menginjakkan kaki di ranah Minang. Kendati perlawanan sengit dari penduduk setempat tak terhindarkan, gelombang penjajahan akhirnya berhasil memukul mundur pejuang-pejuang Minangkabau pada tahun 1837.

Namun, semangat perlawanan rakyat Minangkabau tidak padam begitu saja. Mereka terus melakukan berbagai upaya untuk mengganggu hegemoni Belanda, termasuk melancarkan serangan-serangan gerilya yang berhasil menghancurkan gudang logistik dan berbagai fasilitas militer milik penjajah. Di tengah berkobarnya semangat juang tersebut, nama Sidi Mara muncul sebagai salah satu panglima laut yang paling ditakuti dan dihormati.

Catatan-catatan militer Belanda pada abad ke-19 kerap kali menyebut nama Sidi Mara, mengindikasikan betapa signifikannya peran dan pengaruhnya dalam dinamika perlawanan di pesisir barat Sumatera. Filolog terkemuka, Suryadi, mengungkapkan bahwa nama Sidi Mara seringkali muncul dalam tulisan-tulisan para petinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Minangkabau, menjadi bukti nyata akan eksistensi dan kiprahnya.

Selain Sidi Mara, terdapat pula nama-nama panglima laut lain yang masyhur di pantai barat Sumatera, seperti Panglima Mentawe, Nja’ Pakir, dan Po Id.

Keberadaan tokoh-tokoh ini menunjukkan betapa pentingnya kekuatan maritim dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan dan juga dalam dinamika kekuasaan di wilayah tersebut.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Sidi Mara dikenal sebagai seorang pedagang dan pengusaha perantara yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Ketika gelombang penjajahan Belanda semakin menguat, terutama pada era yang dikenal sebagai Perang Paderi, Sidi Mara memainkan peran penting sebagai penghubung dagang antara pengusaha Aceh dan Minangkabau.

Berbagai komoditas dan produk diperdagangkan melalui jaringan Sidi Mara, termasuk peralatan senjata yang sangat dibutuhkan dalam perlawanan, pakaian, garam, ikan, dan berbagai kebutuhan lainnya. Suryadi mencatat bahwa Sidi Mara memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, Pasaman, yang menjadi pusat aktivitas perdagangannya.

Namun, gelombang pasang pasukan Belanda yang terus merangsek ke jantung pertahanan rakyat Minangkabau di Bonjol mulai mendesak posisi pejuang-pejuang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoarnya yang berjudul “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834”, mencatat bagaimana penjajah Belanda secara sistematis menyerbu pusat pertahanan Minang.

Tragisnya, gudang-gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol, tak luput dari amukan serdadu Belanda yang membakarnya tanpa ampun. Salah satu gudang yang ikut dilalap si jago merah adalah milik Panglima Sidi Mara. Peristiwa inilah yang kemudian menyulut amarah besar dalam diri Sidi Mara terhadap pihak Belanda.

Sejak saat itu, Sidi Mara bersama dengan 20 orang anak buahnya yang setia, melancarkan serangan balasan yang sengit terhadap posisi-posisi Belanda. Mereka bergerak cepat dan tak terduga, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang kondisi geografis dan kekuatan laut untuk mengacaukan dan meresahkan pihak penjajah.

Selain menghadapi ancaman dari penjajah Belanda, Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar juga harus berhadapan dengan para bajak laut dari Prancis yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama Le Meme. Aktivitas bajak laut di sepanjang pantai barat Sumatera pada abad ke-19 didorong oleh motif ekonomi, dengan melakukan perompakan terhadap kapal-kapal niaga, perkampungan penduduk, dan bahkan motif politik.

Gusti Asnan menjelaskan bahwa korban utama dari aksi bajak laut ini justru adalah para pedagang Tionghoa (pecelang), bukan pedagang Eropa. Hal ini disebabkan karena para pecelang Eropa umumnya telah memiliki persenjataan yang memadai, sehingga membuat para bajak laut berpikir dua kali sebelum menyerang. Selain itu, perompakan juga menyasar perkampungan, bahkan menculik penduduk untuk dijadikan komoditas budak.

Dalam situasi yang penuh gejolak tersebut, warga yang tak berdaya menjadi korban di antara dua kekuatan yang bertikai. Sebagian warga terpaksa memihak penjajah Belanda demi keamanan, sementara sebagian besar lainnya teguh mendukung para pejuang kemerdekaan. Namun, kekuatan militer penjajah Belanda yang jauh lebih modern pada akhirnya membuat perlawanan rakyat menjadi tidak berdaya.

Sayangnya, catatan sejarah yang jelas mengenai biodata Sidi Mara sangat minim. Gusti Asnan mengakui bahwa tidak ada informasi detail mengenai tanggal dan tahun lahir, kampung halaman, serta silsilah keturunan sang panglima laut yang legendaris ini.

Kendati demikian, Suryadi, yang akrab disapa Ajo, memberikan petunjuk bahwa Sidi Mara kemungkinan berasal dari Pariaman. Ia menjelaskan bahwa "Sidi" merupakan salah satu gelar adat di Pariaman, yang berasal dari kata "Sayyidi" (sama dengan Tuanku). Gelar ini biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki garis keturunan dengan kaum ulama (sayyid), yaitu para penyebar agama Islam di daerah Pariaman.

Lebih lanjut, Suryadi menjelaskan bahwa "Sidi", sama halnya dengan gelar adat lain seperti Sutan dan Bagindo, merupakan gelar yang disematkan pada laki-laki yang baru saja menikah di Pariaman. Gelar ini diturunkan secara terus-menerus melalui garis ayah (patrilineal). Suryadi menegaskan bahwa Sidi Mara adalah orang Pariaman dan kemungkinan berprofesi sebagai seorang pedagang.
Menurut sumber lain, Sidi Mara diyakini sebagai putra kepala kampung atau nagari Katiagan (yang juga ditulis sebagai Katiagan Mandiangin), sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Informasi ini memberikan petunjuk lain mengenai kemungkinan asal-usul sang panglima laut.

Setelah berhasil menguasai Sumatera Barat, Belanda melanjutkan ekspansinya untuk menaklukkan Sumatera Utara. Tindakan ini termasuk membakar dan membumihanguskan Barus, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Barus bermarga Pohan di wilayah Hulu dan keturunan Tuan Ibrahimsyah di wilayah Hilir.

Dalam sebuah pertempuran yang heroik, pasukan Sidi Mara dan Sisingamangaraja XI berhasil mengalahkan Belanda dan menewaskan komandan mereka, Letnan J.J. Roef, pada tanggal 28 Maret 1840. Makam Letnan Roef kini berada di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menjadi saksi bisu kekalahan telak Belanda.

Meskipun demikian, dengan cara yang licik dan penuh intrik, Belanda akhirnya berhasil menguasai Barus. Jejak pertempuran sengit dan heroisme Sidi Mara dan pasukannya tetap terukir dalam ingatan kolektif masyarakat setempat.

Hingga kini, tidak diketahui secara pasti di mana makam Sidi Mara berada. Namun, sebuah desa bernama Kinali masih eksis di Barus, dan nama Kinali juga diabadikan menjadi nama sebuah kecamatan di Sumatera Barat, yang diyakini sebagai tempat kelahiran sang panglima laut yang gagah berani ini.

Di Barus sendiri, jejak migrasi dan interaksi budaya dari Sumatera Barat masih terasa kental. Banyak ditemukan orang Pariaman dan Minang yang menetap di wilayah tersebut. Bahkan, terdapat sebuah kampung bernama Solok, sebuah nama yang diambil dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Sisingamangaraja XI sendiri merupakan raja yang secara turun temurun memerintah di Bakkara, yang kini berada di wilayah Humbang Hasundutan.

Sisingamangaraja I merupakan putra Tuan Ibrahimsyah Raja Barus Hilir yang berasal dari Tarusan, Kerajaan Indrapura, yang kini juga termasuk wilayah Sumatera Barat.
Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut di bawah kepemimpinan putra Sisingamangaraja XI, yaitu Sisingamangaraja XII. Ia berkoalisi dengan Aceh, khususnya dalam komando 16 kerajaan di Singkil di bawah Kesultanan Aceh yang lebih besar. Enam belas kerajaan ini dikenal dengan nama Si-16 atau Sinambelas, termasuk Kerajaan Batu-batu yang dipimpin oleh Sultan Daulat Sambo.

Sayangnya, Sisingamangaraja XII akhirnya gugur di Parlilitan pada tahun 1907 bersama dengan sejumlah panglimanya. Sebagian makam para panglima setianya, sekitar 37 jenazah, berada di Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan. Mereka dimakamkan oleh warga setempat setelah dibantai oleh Belanda dan pasukan Marsosenya, menjadi pengingat tragis akan kegigihan perlawanan dan kekejaman penjajahan. Kisah Sidi Mara, meskipun minim catatan detail, tetap menjadi bagian penting dari narasi heroisme dan semangat perlawanan rakyat Minangkabau terhadap kolonialisme.

Kamis, 24 November 2022

Setelah Sukses Obok-obok PAN dan PPP, TS Ganjar Diduga Sebabkan Prabowo-Cak Imin Pecah

Koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terancam pecah. Hal itu menyusul mengemukanya kabar penjodohan Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.


Komposisi ini menempatkan Prabowo sebagai calon presiden (capres) dan Ganjar sebagai calon wakil presiden (cawapres). Tak ada nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin di komposisi itu.

Padahal sebelumnya, santer terdengar koalisi yang digadang bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) ini bakal mengusung Prabowo-Muhaimin dalam Pilpres 2024.

Jumat, 11 November 2022

Pemerintahan IEA Taliban di Afghanistan Selesaikan Konstruksi Kanal Qush Tepa Sepanjang 45 KM

Pemerintahan IEA Taliban di Afghanistan berhasil menyelesaikan konstruksi Kanal Irigasi Qush Tepa 45 km dari 285 km yang direncanakan.

Tahun ini saja, pemerintah Kabul menyediakan alokasi anggaran 7 miliar Afghani dari APBN bukan dari utang.

Semitar 200 ribu pekerja terlibat dalam konsttryksi dan jika selesai diperkirakan bisa mengairi lahan pertanian sebesar 500 ribu hektare dari yang sebelumnya tanah gurun.


Megaproyek ini telah lama digagas namun sampai Presiden Ashraf Ghani mengundurkan diri belum ada pembangunan yang terjadi.

Rencananya, selain mengairi lahan pertanian penduduk, pemerintah juga akan membuka pertanian gandum dan jenis tanaman lainnya di lokasi sebagai bagian dari BUMN milik negara.

Jumat, 02 April 2021

Ketum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi Ajak Moeldoko Dirikan Parpol Baru Jika Gagal Jadi Ketum Demokrat

Ketum Partai Bintang Reformasi (PBR) Bursah Zarnubi mengajak Moeldoko untuk membentuk parpol baru usai keputusan Kemenkum HAM untuk menolak KLB Demokrat Sibolangit yang angkat Moeldokk Ketum Demokrat gantikan AHY.

PBR selama ini menyalurkan suaranya melalui Gerindra yang saat 2019 lalu berhasil angkat menjadi parpol kedua terbesar setelah PDIP.

PBR pernah memiliki kursi si beberapa DPRD. Didirikan oleh KH Zainuddin MZ merupakan fusi dari beberapa parpol Islam termasuk Partai KAMI atau Partai Kebangkitan Muslim Indonesia.


Selasa, 10 November 2020

Kubu Amien Rais Klaim Logo Partai Ummat Senapas Perjuangan Rizieq

Loyalis Amien Rais, Agung Mozin, mengatakan bahwa logo Partai Ummat yang akan diperlihatkan ke masyarakat, Selasa (10/11), akan senapas dengan semangat perjuangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
Agung menyebut peluncuran logo partai besutan Amien Rais itu bersamaan dengan kepulangan Rizieq ke Indonesia. Menurut Agung, pihaknya menyambut kepulangan Rizieq dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur.

"Maka oleh sebab itu Partai Ummat menyambut kedatangan HRS [Habib Rizieq Shihab] dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur yang diwujudkan dengan perluncuran simbol partai yang sinkron dan senapas dengan perjuangan HRS, yaitu melawan kezaliman dan menegakkan keadilan," kata Mozin kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/11).

Jumat, 10 Juli 2020

Rusuh di Montenegro Bisa Picu Perang Sipil

Kerusuhan terjadi di Montenegro karena masalah kecil yang berimbas ke politik.

Sikap polisi yang represif dituntut warga untuk berubah.

Tuntutan ini mengarah ke persoalan politik yang melibatkan elit setempat.

Lihat:

Daerah

Berita

Media Islam

Ibukota